Tanggal 12 Rabiul Awal 1431 H, bertepatan pada 26 Februari 2010 seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun temurun.
Dalam catatan historis, Maulid dimulai
sejak zaman kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari
Fatimah az-Zahrah, putri Muhammad. Perayaan ini dilaksanakan atas usulan
panglima perang, Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran Muhammad.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan semangat juang kaum muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Salibis. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu.
Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal akan keteladanan Muhammad sebagai pembawa ajaran agama Islam.
Tercatat dalam sepanjang sejarah kehidupan, bahwa nabi Muhammad adalah
pemimipn besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung
bagi umatnya.
Dalam konteks ini, Maulid harus
diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas
kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai
profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan
bagian dari demokrasi seperti toleransi,
transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan,
pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme.
Dalam tatanan sejarah sosio antropologis
Islam, Muhammad dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang
berbeda dan saling melengkapi.
Pertama, dalam perspektif teologis-religius,
Muhammad dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul
terakhir dalam tatanan konsep keislaman. Hal ini memposisikan Muhammad
sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang
bertugas membawa, menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk
pesan “suci” Tuhan kepada umat manusia secara universal.
Kedua, dalam perspektif sosial-politik, Muhammad dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal. Sosok individu Muhammad
yang identik dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran,
humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu
membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan tentram.
Tentu, sudah saatnya bagi kita untuk
mulai memahami dan memperingati Maulid secara lebih mendalam dan
fundamental, sehingga kita tidak hanya memahami dan memperingatinya
sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat
dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman semata,
namun menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin.
Karena bukan menjadi rahasia lagi bila
kita sedang membutuhkan sosok pemimpin bangsa yang mampu
merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang
ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif, sebagaimana
dilakukan Muhammad untuk seluruh umat manusia.
Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak
lagi dipahami dari perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami
dari berbagai perspektif yang menyangkut segala persoalan. Misal,
politik, budaya, ekonomi, maupun agama